Pedoman Diagnosis, Konseling dan Tes HIV


Konseling dan Tes HIV


Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus melalui tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan setengah ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya mereka yang tahu sering terlambat diperiksa dan karena kurangnya akses hubungan antara konseling dan tes HIV dengan perawatan, menyebabkan pengobatan sudah pada stadium AIDS. Keterlambatan pengobatan mengurangi kemungkinan mendapatkan hasil yang baik dan penularan tetap tinggi.

Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan segera memberi akses pada layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan. KT HIV merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting 3 zeroes.

Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality; counseling; correct test results; connections to care, treatment and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.

  1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.
  2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/ klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
  3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
  4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
  5. Connections to, care, treatment andprevention services. Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.


Penyelenggaraan KT HIV,adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. KT HIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.

Tes Diagnosis HIV

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV, yaitu:

  1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
  2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
  3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.


Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait anak.
Sedikit berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada kondisi di bawah ini:

  1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang)
  2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan pencegahan penularan dari ibu ke anak
  3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
  4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
  5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
  6. Anak yang mengalami kekerasan seksual.


Sesuai dengan perkembangan program serta inisiatif SUFA maka tes HIV juga harus ditawarkan secara rutin kepada:

  1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang minimal setiap 6 bulan sekali
  2. Pasangan ODHA
  3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
  4. Pasien TB
  5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas
  6. Pasien IMS
  7. Pasien Hepatitis
  8. Warga Binaan Pemasyarakatan
  9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)


Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.


Jenis pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:

Tes serologi

Tes serologi terdiri atas:

  1. Tes cepat
    Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
  2. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
    Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigenantibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
  3. Tes Western Blot
    Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit


Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada umur 9 bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir).

Bila hasil tes tersebut:

  1. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
  2. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan ulang dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti menyusu.
  3. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan.

Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis dan jika hasil tes tersebut:

  1. Reaktif diikuti dengan tes virologis.
  2. Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada usia 18 bulan.


Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada orang dewasa.


Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)


Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis kedua.

Tes virologis terdiri atas:

  1. HIV DNA kualitatif (EID)
    Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
  2. HIV RNA kuantitatif
    Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.

Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara tes virologis, tes antibodi, dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.

Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18 bulan, idealnya dilakukan pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda untuk informasi konfirmasi hasil positif yang pertama sebagaimana bagan di bawah ini.

Gambar

Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan


Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis presumtif.

 

Diagnosis HIV pada Anak > 18 bulan, Remaja dan Dewasa Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III (pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas dan spesivisitasnya).

Sumber Pustaka :

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL