Demam Berdarah Dengue


Pendahuluan

Kehilangan Volume plasma

Patofisiologi utama pada DBD/DSS adalah peningkatan akut dari permeabilitas pembuluh darah, sehingga terjadi kebocoran plasma dari kompartemen vaskular. Pada kasus berat penurunan volume plasma mencapai lebih dari 20%. Bukti adanya kebocoran plasma meliputi temuan efusi pleura dan asites pada pemeriksaan radiologis, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi serosa (pada autopsi). Lesi destruktif atau peradangan pembuluh darah tidak terlihat. Ini mengesankan perubahan vaskular yang bersifat fungsional dan sementara disebabkan oleh mediator kerja singkat. Kebocoran plasma bisa mengakibatkan syok, yang jika tidak dikoreksi bisa mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perubahan hemostatik pada DBD meliputi tiga unsur: perubahan vaskular, trombositopenia dan kelainan koagulasi.
Pasien harus dipantau ketat untuk tanda-tanda syok. Periode kritis adalah peralihan dari fase demam ke fase afebril, yang biasanya terjadi setelah hari ketiga. Tanda bahaya adalah gelisah atau letargi(mengantuk), nyeri abdomen akut, eksremitas dingin, bendungan kulit atau oliguria. Pengukuran hematokrit merupakan panduan esensial untuk terapi cairan, karena secara tidak langsung menunjukkan derajat kebocoran plasma dan menentukan apakah perlu cairan intravena atau tidak. Hematokrit yang meninggi biasanya mendahului perubahan tekanan darah dan nadi. Hematokrit harus diukur setiap hari mulai dari hari ketiga sakit sampai demam telah mereda selama satu sampai dua hari. Jika hematokrit tidak mungkin diukur, pengukuran hemoglobin bisa digunakan walaupun kurang sensitif

Manajemen

Yang dibahas di sini hanyalah aspek terapi cairan.

Terapi cairan parenteral bisa diberikan pada pasien di mana demam, muntah atau anoreksia menimbulkan dehidrasi.

  • Pada DBD derajat I dan II , cairan yang digunakan bisa jenis rumatan.
  • Namun pada DSS, pasien memerlukan infus bolus cairan isotonik (misal Ringer asetat atau Ringer laktat). Pada kasus berat bisa terjadi hiponatremia dan asidosis metabolik. Karena NaCl 0.9% mengandung klorida relatif tinggi (154 mEq/L) dibanding RA/RL (109 mEq/), potensi memperburuk asidosis lebih besar dengan NaCl 0.9% karena cenderung menurunkan SID (strong ion difference) yang merupakan variabel independen dalam menentukan pH. (Catatan: SID = [Na+] + [K+] + [Mg++] + [Ca++] – [Cl-] ). Makin rendah SID disertai peninggian [H+] atau penurunan [OH-].
  • Oleh karena itu garis pertama untuk resusitasi adalah Ringer asetat atau ringer laktat. Sediaan kombinasi dengan dekstrosa 5% (misal Ringer-asetat-D5 atau RL-D5 atau NaCl 09%-D5 ) bisa diberikan pada kecepatan < 10 ml/kg/jam tanpa ada kekhawatiran hiperglikemia.
  • Jika dalam waktu 15-30 menit, syok tidak membaik, dan hematokrit meninggi sebaiknya diberikan koloid (misal dextran 40 dalam pelarut RL atau pati atau gelatin). Diberikan 10-20 ml/kg/jam. Dosis maksimum adalah 20-30 ml/kg.
  • Oksigen sebaiknya diberikan dan hematokrit harus dicek ulang. Jika syok menetap dan nilai hematokrit menurun, ini mengindikasikan perdarahan internal. Berikan transfusi darah segar (whole blood) 10 ml/kg.
  • Asidosis jika tidak dikoreksi bisa menyebabkan DIC (disseminated intravascular Coagulation). Umumnya dengan pemberian cairan pengganti (ringer asetat atau ringer laktat) memberikan hasil baik. Bila dibutuhkan sodium bikarbonat (untuk menambah Na+ dan memperbesar strong ion difference), jangan larutkan natrium bikarbonat dalam RA atau RL, karena dalam kedua larutan ada ion Ca++ yang bisa berikatan dengan HCO3- dan membentuk presipitasi